Oleh: Irjen Pol (Purn) Sisno Adiwinoto
KITASIAR.com – Harus diakui dengan adanya “tragedi Sambo” cukup memorak-porandakan citra kepercayaan pubik kepada Polri. Celakanya, ditambah lagi dengan adanya elemen masyarakat yang bukannya membantu memulihkan citra Polri, tapi malah mendompleng menghujat Polri dan menangguk di air keruh serta memanfaatkan situasi ini cari panggung untuk kepentingan pencitraan politik praktis mereka.
Meski begitu, Polri tidak boleh panik karena tragedi Sambo. Sebaliknya malah tragedi ini harus dijadikan momentum pintu masuk Polri untuk membenahi aspek reformasi kultural Polri, terutama pembangunan moral, disiplin, dan perilaku Polri untuk kembali meningkatkan citra Polri.
Untuk itu, Polri perlu segera mewujudkan polisi dan juga masyarakat yang baik dan disiplin.
Kita semua menginginkan adanya polisi yang baik dan disiplin maka semestinya warga masyarakat juga harus baik dan disiplin. Namun, yang ideal tentunya dimulai dulu dari polisi sebagai penertib atau penegak aturannya harus baik dan disiplin agar menjadi contoh keteladanan bagi masyarakat.
Menurut ilmu sosiologi, perilaku polisi merupakan cerminan perilaku masyarakatnya karena perilaku polisi sangat dominan dipengaruhi oleh perilaku dari masyarakatnya itu sendiri.
Dalam masyarakat yang disiplin dan berperilaku baik, polisinya akan lebih baik lagi. Namun, dalam masyarakat yang berperilaku menyimpang/ melanggar hukum maka bisa membuat polisinya menjadi kurang baik.
Misal, bila kultur masyarakatnya suka suap-menyuap dan polisinya tidak punya integritas, tidak disiplin, serta tidak punya iman yang kuat maka berpotensi terjadinya polisi yang korup atau polisi yang tidak baik.
Jati diri Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai Bhayangkara Negara yang berfungsi mengawal, menjaga, melindungi, dan mengayomi negara beserta segenap warga negara/masyarakat, dengan tugas dan wewenang memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat.
Dengan fungsi dan tugas wewenang Polri tersebut, hampir semua sendi dan sisi kehidupan masyarakat bersentuhan dengan Polri, sehingga memang suatu keniscayaan kewenangan Polri menjadi luas (sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari), bahkan dapat dikatakan kewenangan Polri itu paripurna dan nyaris powerfull.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana kewenangan Polri yang powerfull itu tidak disalahgunakan yang berpotensi menimbulkan berbagai bentuk penyimpangan yang pada gilirannya mencederai dan menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi Polri.
Sehubungan dengan itu, perlu diingat keberadaan Polri (dengan tugas dan wewenangnya) sebagai garda terdepan, baik dalam upaya pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, maupun dalam upaya memberikan jaminan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, dan kultur masyarakat kita yang paternalistik, maka yang pertama-tama dan yang paling utama berbenah tak lain segenap anggota Polri itu sendiri untuk menjadi polisi yang baik dan disiplin. Setidaknya ada enam jurus yang dapat dipakai.
Pertama, untuk mewujudkan polisi yang baik dan disiplin diperlukan pengawasan yang ketat . Hal ini merupakan domain utamanya Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) sehingga Divisi Propam semestinya menjadi garda utama membuat polisi menjadi baik dan disiplin. Artinya, siapa pun yang duduk sebagai pimpinan dan anggota Divisi Propam harus benar-benar “manusia setengah dewa”, direkrut dari personel yang secara moral baik, berintegritas, berperilaku baik dan disiplin agar dapat dijadikan contoh bagi seluruh anggota Polri.
Selain itu, peraturan tentang Kode Etik harus diedukasikan dan disosialisasikan kepada seluruh anggota Polri secara kontinyu, reguler, dan berkesinambungan dari Mabes sampai Polda, Polres, dan Polsek.
Last but not least, konsistensi dan sikap tegas dalam memberikan punishment terhadap anggota Polri yang melanggar kode etik dan memberikan reward kepada anggota Polri yang diapresiasi baik oleh publik.
Kedua, tidak kalah pentingnya tugas Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) di tingkat Mabes Polri dan Inspektur Pengawas Daerah (Irwasda) untuk proaktif melaksanakan pengawasan terhadap anggota Polri, baik yang ada di pusat maupun di daerah dari waktu ke waktu.
Ketiga, melakukan penegakan hukum terhadap pelanggar hukum secara konsisten dan terus menerus, tidak hanya hangat-hangat tahi ayam atau menunggu perintah Kapolri, baru ramai, sesudah itu tidak ada kelanjutannya.
Keempat, sosok anggota Polri harus selalu “hadir” di tengah-tengah masyarakat, terutama jajaran Polsek dengan performance yang santun dan humanis, sehingga masyarakat merasa aman dan nyaman dengan kehadiran anggota yang selalu ada di lingkungannya.
Kelima, di bidang pelayanan masyarakat harus diubah persepsi negatif masyarakat terhadap Polri, bila melapor kepada polisi selalu berkonotasi uang atau biaya yang tidak kecil.
Untuk itu, anggota Polri yang bertugas melayani masyarakat harus direkrut dari anggota yang profesional yang dibarengi dengan pemberian insentif.
Keenam, harus dibangun tradisi untuk mendorong segenap pimpinan baik di pusat maupun di daerah ikut memikul tanggung jawab, yaitu bila ada anggota Polri yang melakukan penyimpangan, komandannya harus dicopot dari jabatannya.
Mungkin masih banyak lagi yang bisa dilakukan segera, sebagai bukti keseriusan Polri dalam mereformasi secara kultural dan hasilnya bisa langsung dapat dirasakan oleh masyarakat. (*)