Cerita Eva Soal Banjir Langganan yang Tak Berkesudahan

Puluhan hektare sawah dan ratusan rumah warga direndam banjir di Gurun Panjang, Bayang, Pesisir Selatan

PESISIR SELATAN, KITASIAR.com – Hujan terus turun menderu. Saat itu baru menunjukkan pukul 05.00 WIB Pagi. Rasa khawatir dan dugaan Eva akan terjadi banjir sudah melintas jauh di pikirannya sejak sehari sebelumnya.

Beranjak dari tempat tidur setelah menguap lepas seusai tidur nyenyak, Eva pun perlahan-lahan mulai mengintip dari balik jendela.

Dia pun memastikan apakah air hujan yang turun deras semalam membanjiri pekarangan rumahnya dan rumah tetangga.

Tatapan pertama, matanya mengarah ke bentangan luas persawahan di belakang rumah. Astaga sungguh. Ternyata, benar dugaannya.

Bacaan Lainnya

Tanaman padi yang sudah kuning dan akan dipanen tiga hari lagi sungguh menyayat hati. Persawahan yang ditatap itu sudah seperti kolam renang berlumpur.

Padahal, hasil padi itu yang akan memenuhi kebutuhan pangan keluarga dalam beberapa bulan kedepan. Gelisah hatinya. Seketika, tetangganya mulai berteriak.

Meminta agar masyarakat yang masih tertidur segera bangun. Air hujan yang turun semalam mulai mengalir deras, menggenangi badan jalan dan perlahan mulai memasuki rumah warga yang berada di dataran rendah.

Sapi-sapi di kandang juga ikut melenguh karena setengah kaki sudah digenangi air. Si pemilik juga belum bangun tidur. Sementara, kambing-kambing mengembek keras.

Mereka berlari kesana-sini mencari tempat aman yang tidak digenangi air. Lalu, ayam-ayam juga menciap-ciap dan terbang dari sudut ke sudut karena tanah tempat mengekas sudah digenangi air.

Rok yang digunakan Eva mulai disinsingkan. Dia pergi ke pintu utama rumah. Belum sampai menuju pintu, pada bagian ruang tamu sudah terlihat air yang bergenang.

Hujan juga tak kunjung reda. Dia hanya sendirian tinggal di rumah. Suami juga belum pulang kerja karena proyek bangunan yang dikerjakan berada di kota Padang. Biasanya, hanya pulang sekali seminggu.

Pikirannya mulai melayang. Takut akan terjadi sesuatu hal buruk, Eva menghubungi Ardi suaminya. Sekali dan dua kali dihubungi tak kunjung diangkat.

Baterai Handphone Android yang barus saja dibelikan sang suami seminggu lalu hasil jerih berkuli akan segera habis. Low battery.

Eva tak tau harus berbuat apa. Berharap, agar suami cepat pulang. Dia semakin khawatir, saat usia kehamilannya yang sudah masuk delapan bulan, bencana banjir kembali melanda.

Padahal, dua minggu sebelumnya juga banjir, tetapi tidak separah yang terjadi kali ini. Situasinya juga berbeda. Saat banjir pertama dalam bulan September 2021, beruntung Eva ditemani suami sehingga rasa khawatir tidak terlalu berlebihan.

Dalam kondisi yang serba rumit, Eva juga enggan meminta tolong kepada para tetangga. Semua orang sedang sibuk mengurusi perabotan rumah tangga agar tidak semakin parah diterpa banjir.

Perutnya yang besar mulai menegang serasa sakit dari dalam dan menendang. Ohh tuhan bagaimana ini? Eva menangis dalam diam. Dia bertanya lagi, sampai kapan kampungnya bisa berhenti dari langganan banjir.

Meski demikian, Eva tetap merasa bersyukur. Banjir di tempatnya tidak separah di perkampungan temannya yang terletak di bagian tengah. Yaitu di lokasi yang sangat dekat dari aliran sungai besar.

Jika, di tempat Eva ketinggian air hanya sepaha kakinya. Maka, sudah dipastikan di tempat temannya bernama Erni air sudah setinggi dada.

Bertahun-tahun, persoalan banjir yang mendera warga tak kunjung selesai. Luapan batang Sungai terus menghantui kala intensitas hujan cukup tinggi.

Bukan tidak ada upaya untuk mengatasi persoalan banjir. Normalisasi sungai yang seharusnya dituntaskan terkendala satu, dua dan tiga. Pembebasan lahan tak menjumpai kesepakatan.

Jika pun ada titik kesepakatan, tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak proses dan serangkaian tahapan, terlebih pembangunan menggunakan anggaran pemerintah.

Puluhan kilo Batang sungai yang akan dinormalisasi akan menelan anggaran tak sedikit. Ratuan juta, miliaran, bahkan mungkin hingga puluhan miliar.

Lalu, dikaji lagi. Katanya, normalisasi batang sungai di kampung Eva kewenangannya berada di pemerintah provinsi. Harus bersabar lagi menunggu. Sabar bila banjir datang lagi, sabar jika padi yang ditanam lalu tumbuh dan masuk panen dihantam banjir lagi.

Lalu, bersabar jika hewan ternak yang dirawat dan sebagian dijual untuk memenuhi biaya kuliah anak-anak mulai sakit dan mati.

Jika bencana banjir viral. Masyarakat mulai disalahkan. Kenapa harus membangun rumah di dekat aliran sungai, kenapa harus tinggal di dekat perbukitan.

Pada mereka yang tidak mengerti akan kondisi rill kehidupan masyarakat tingkat bawah mungkin dengan mudah berkata.

Ahh sudahh. Bencana datang dari ulah manusia sendiri. Kita tidak memperlakukan alam sekitar dengan baik. Hingga akhirnya menanggung akibat dari bencana yang tiba.

Dan yang pasti, sang Pencipta tengah menguji kita, umat manusia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *