KITASIAR.com – Pakar kuliner William Wongso sudah sekitar 20 tahun melakukan promosi kuliner Indonesia di luar negeri dan menurut dia penggunaan istilah promosi kuliner Indonesia tak terlalu efektif.
“20 tahun saya lakukan promosi kuliner Indonesia di mancanegara, awalnya selalu pada istilah promosi kuliner Indonesia, itu tidak terlalu efektif. Sekarang kita sudah mulai sadar, bukan bentuk promosi kuliner tapi kita memperkenalkan culinary culture atau budaya kuliner,” ujar dia di sela peluncuran Indonesia’s Geographical Indication Show (IGIS) 2022 secara daring, Jumat.
Pengenalan budaya kuliner termasuk keunikan, kualitas dan reputasi produk yang dihasilkan saat ini juga menjadi upaya yang dilakukan pemerintah yang satunya melalui program Indonesia’s Geographical Indication Show (IGIS) 2022.
IGIS 2022 mengeksplorasi keunikan yang menjadi ciri khas setiap Indikasi Geografis dalam bentuk video dokumenter, cooking show, resep olahan produk Indikasi Geografis, side talk show, dan webinar.
Melalui pendekatan jurnal kuliner, program ini juga bertujuan mengajak seluruh pihak, mulai dari pemilik modal, eksportir, potential buyer, asosiasi, komunitas, pecinta kuliner, praktisi kuliner, penggiat usaha, pemangku kebijakan, hingga masyarakat umum untuk lebih meningkatkan dukungannya pada upaya pemberdayaan masyarakat, peningkatan daya saing, dan penguatan posisi Indonesia melalui keaslian dan kualitas produk yang premium.
Kemudian, sebagai bentuk keterwakilan, dalam IGIS 2022 ada sepuluh produk unggulan Indikasi Geografis Indonesia yang dihadirkan antara lain Beras Adan Krayan, Garam Bali Amed, Lada Luwu Timur, Kopi Arabika Gayo, Kayu Manis Koerintji, Gula Kelapa Kulonprogo Jogja, Teh Java Preanger, Lada Putih Muntok, Cengkih Minahasa dan Pala Siaw.
Menurut William, Indonesia membutuhkan program-program yang memperkenalkan kuliner khususnya rempah-rempah berkualitas dengan sertifikasi Indikasi Geografis atau GI agar produk-produk itu mendapatkan nilai ekonomis tinggi.
“Dampak GI akan meningkatkan penghasilan petani rempah-rempah. ini sudah terjadi di bidang perkopian. Dulu petani kopi asal kuantitas sekarang sudah menuju kualitas karena kesadaran konsumen untuk menikmati kopi berkualitas, sangat tinggi,” tutur dia.
Dia berharap program-program semacam ini bisa mulai diperkenalkan juga pada masyarakat Indonesia dan dimulai dari level sekolah menengah kejuruan.
“Saya ingin ke depannya, program-program memperkenalkan rempah-rempah berkualitas dengan sertifikasi GI harus dilakukan mulai dari level sekolah menengah kejuruan sampai ke atas agar tidak ada lagi masyarakat pesan lada putih atau hitam, tapi dengan embel-embel,” kata dia.
Berbicara rempah dan bumbu, menurut William keduanya berbeda. Rempah merupakan komoditi sementara bumbu yakni pasta atau bahan segar yang dilumatkan dan ditumis dengan minyak menjadi satu produk konsentrat untuk diaplikasikan sesuai dengan budaya kuliner masing-masing daerah. (*)