RDP Lintas Komisi dan Sektoral Upaya Memperjuangkan Nasib Pekebun Sawit Swadaya yang Mengalami Tekanan Harga

KITASIAR.com – Sebagai upaya untuk mencarikan solusi terhadap tekanan harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit yang dialami pekebun swadaya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), Sumatera Barat akhirnya kembali menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) Lintas Komisi dengan Lintas Sektoral di ruang rapat Paripurna DPRD Pessel, Selasa (18/10/2022).

Rapat ini digelar untuk menentukan langkah-langkah ke depan yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dan provinsi dalam memberikan kesejahteraan bagi pekebun sawit swadaya yang belum bermitra dengan Perusahaan Kelapa Sawit (PKS).

RDP itu langsung dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Pesisir Selatan, Aprial Habbas atau yang lebih kerap disapa Buya Piyai.

Dalam kegiatan itu sengaja menghadirkan banyak pihak, mulai dari perwakilan pekebun swadaya, pihak pabrik kelapa sawit, Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Pessel dan Kepala OPD terkait, pihak Kepolisian dan Kejaksaan Pessel, Camat Kecamatan Sentra Kelapa Sawit, Forum Wali Nagari Kecamatan Sentra Kelapa Sawit.

Bacaan Lainnya

Lalu juga dihadiri oleh perwakilan Dinas Perkebunan Tanaman Pangan Holtikultura Provinsi Sumbar, Ketua APKASINDO dan GAPKI Sumbar, Ombusman Sumbar, Ketua Tim Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit dan Ahli/Akademisi Tim Penetapan Harga TBS Sumbar.

“Disini kita hadir, bagaimana bisa mencarikan solusi terkait persoalan pekebun sawit swadaya yang mengalami penekanan harga. Tentunya, di satu sisi ada pihak yang diuntungkan dan di sisi lain tidak ada pula pihak yang dirugikan,” katanya.

Saat ini, yang jadi persoalan adalah para pekebun sawit swadaya. Mereka yang memiliki lahan kebun sendiri, mengolah dan menjualnya, tapi mengalami tekanan harga. Beda hal dengan pekebun yang sudah bermitra dengan pihak perusahaan.

Dalam kesempatan pertama, Aprial Habbas memberikan kesempatan kepada Kepala Dinas Tanaman Pangan Holtikulutura Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) yaitu melalui Kepala Bidang, Dadang untuk menjelaskan soal kewenagan penetapan harga TBS dan upaya yang mesti dilakukan dalam memperjuangkan keseimbangan harga TBS kelapa sawit pekebun swadaya.

Dadang menjelaskan pemerintah Provinsi Sumbar dalam hal penetapan harga TBS Kelapa Sawit tetap mengacu kepada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 1 tahun 2018.

Permentan itu berisi tentang pedoman penetapan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Produksi Pekebun. Dengan lahirnya aturan tersebut, maka Pemprov Sumbar juga membuat regulasi yaitu Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 28 tahun 2020 yang berpedoman dengan Permentan Nomor 1 tahun 2018.

“Di dalam Permentan, sudah jelas diatur tentang harga TBS. Lalu, adanya kelembagaan pekebun serta pabrik kelapa sawit. Dan kelembagaan itu bermitra dengan pabrik kelapa sawit. Sehingga, Pemprov juga membuat aturan yang hampir sama dengan itu,” jelasnya.

Untuk persoalan di Kabupaten Peisir Selatan, Dadang menawarkan solusi agar para pekebun sawit swadaya dapat membentuk kelompok atau kelembagaan yang nantinya bisa menjalin kerjasama dengan pihak perusahaan.

Ikatan kerjasama tersebut dapat dilakukan dengan adanya kelembagaan. Bukan dengan pekebun secara perorangan. Sehingga soal penetapan harga nantinya dapat disesuaikan berdasar dengan rendemen atau mutu TBS Kelapa Sawit pekebun swadaya.

“Soal TBS kelapa sawit pekebun swadaya yang belum mencapai mutu sesuai ketetapan perusahaan, tentu ini yang jadi persoalan. Sehingga, harganya pun tidak akan bisa sama dengan harga yang bermitra. Nah, di sini kita hadir untuk mencarikan solusinya yaitu bagaimana pekebun swadaya kita dapat membentuk kelompok atau kelembagaannya,” ujarnya.

Dadang meminta pemerintah daerah melalui Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Selatan agar mendorong masyarakat pekebun swadaya dapat membentuk kelembagaan yang pada akhirnya dapat bermitra dengan pabrik kelapa sawit.

Penetapan kelembagaan itu kata dia, nantinya diketahui oleh kepala dinas terkait dan bupati.

“Menurut kami, ini yang perlu kita dorong yaitu kelembagaannya,” katanya lagi.

Dadang menambahkan pada beberapa waktu lalu, ia juga sempat mengikuti rapat bersama Dirjen Perkebunan di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Permentan nomor 1 tahun 2018 bakal direvisi.

Ia menyebutkan bahwa kata mitra yang termuat dalam Permentan diganti dengan kata pekebun yang memiliki kelembagaan. Hal itu juga sebagai bagian untuk penguatan dalam rangka mendorong kelembagaan pekebun swadaya.

“Saya rasa, sulusi pekebun swadaya ini hendaknya membentuk kelembagaan atau kelompok. Sebab, sesuai regulasi yang mengatur soal penetapan harga itu, adalah dengan cara bermitra,” ulasnya.

Kelembagaan Pekebun Swadaya Perlu Segera Dibentuk

Sementara itu, Kamil Indra perwakilan pekebun swadaya Pesisir Selatan mengatakan pemerintah daerah melalui dinas terkait mesti segera mendorong pembentukan kelembagaan pekebun swadaya itu.

“Tidak mungkin PKS melakukan perjanjian dengan perorangan, maka itu butuh kelembagaan. Membuat kelompok tani atau pekebun itu tidak sulit, cukup Wali Nagari dan dihadiri oleh perpanjangan tangan dari dinas terkait, PPL itu cukup, nggak perlu pakai akta notaris. Cuma semangat pemerintah daerah untuk memndorog dan memotivasi itu perlu. Dan sebanarnya itu tidak sulit,” tegasnya.

Kamil mengatakan rendahnya harga TBS terhadap pekebun swadaya juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurutnya, kebiasaan-kebiasaan yang mestinya tidak boleh dilakukan masih juga terjadi dari sejumlah kalangan pekebun swadaya.

“PKS juga tidak mau rugi, PKS itu membeli CPO. Syaratnya tentu ada. Misalnya, TBS tidak boleh disiram, masyarakat kita juga masih menyiram, jangan dibela yang salah itu. Sebelum ke pabrik disiram dulu, bayar 25 ribu atau 35 ribu, itu tidak benar itu. Harus kita nasehati dia,” ucapnya.

“Yang kedua, tandannya itu tidak boleh panjang dan buahnya itu harus masak. Istilahnya harus ada brondol lima, brondol 10. Tapi, masyarakat kita TBS yang muda pun dipanen. Kalau itu dilakukan, jangankan dapat minyak, buah yang bagus pun rusak karena virusnya itu. Jadi, bagaimana dinas pertanian mendorong petani kita, dibina dan dimotivasi untuk hal yang lebih baik,” terangnya.

Disamping itu, para PKS di Kabupaten Pesisir Selatan, harap Kamil, supaya dapat memberikan rasa keadilan harga kepada pekebun swadaya. Sebab, jumlah pekebun swadaya jauh lebih banyak dibanding dengan yang bermitra.

“Saya kira, pekebun bermitra itu hanya kisaran 5 persen dari luasan kebun sawit yang ada. Kalau harga TBS pekebun swadaya itu selalu ditekan, jadi mereka kapan makmurnya,” jelasnya.

Lanjut dia, soal pedoman penetapan harga TBS, ia menyerahkan sepenuhnya kepada panitia di tingkat provinsi.

“Disana sudah ada APKASINDO, GAPKI, juga ada dinas terkait. Itu yang kita pedomani. Karena PKS itu juga warga kita, masyarakat kita bekerja di sana,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Kamil juga sangat menyayangkan sejumlah perusahaan kelapa sawit yang turut diundang tidak datang menghadiri RDP lintas komisi dan sektoral.

“Yang hadir cuma dua yaitu pihak Kemilau dan MSL. Yang lainnya tidak. Yang datang sekarang juga kleneh-kleneh. Tidak bisa juga ambil keputusan,” ucapnya lagi.

Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Pesisir Selatan, Madrianto mengatakan pihaknya sangat setuju dalam hal pembentukan kelompok pekebun swadaya.

Pihaknya turut mendorong karena itu adalah salah satu cara untuk dapat menikmati harga normal atau sesuai dengan pekebun mitra. Terkait pentepan harga, lanjut dia, kewenangan itu berada di pemerintah provinsi.

Madrianto juga menolak soal adanya saran dari pihak provinsi untuk membuat peraturan bupati terkait penetapan harga TBS kelapa sawit. Pasalnya, sebut dia harga itu menyangkut kesepakatan antara ke dua belah pihak yaitu antara pekebun yang memiliki kelembagaan dengan pabrik kelapa sawit.

Pemerintah daerah kata dia hanya memfasilitasi untuk penetapan harga ke dua belah pihak itu. Hal yang demikian terang Madrianto sudah pernah dilakukan antara koperasi Bukit Buai Tapan yang kebun masyarakatnya sudah berproduksi dan dilakukan kesepakatan dengan PT. Sapta Sentosa Ajaya Abadi.

“Jadi, tidak bisa serta merta, bupati buat penetapan harga,” ujarnya.

Madrianto mengakui saat ini jumlah pekebun swadaya masih mendominasi. Dari data yang disampaikan sebelumnya, luasan lahan perkebunan sawit di Kabupaten Pesisir Selatan mencapai 78 ribu hektare. Dari total luasan itu, 41 ribu hektar merupakan pekebun sawit swadaya. Sementara, yang sudah melakukan kemitraan hanya sekitar 3 persen.

“Dan hari ini, yang mendapatkan tekanan itu adalah sawit-sawit yang berasal dari sawit swadaya. Terakhir saat harga sawit Rp2.200, itu harga sawit dari pekebun swadaya hanya Rp900. Jauh lebih murah,” tuturnya.

Mardianto menambahkan pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam terkait persoalan harga sawit yang tak berpihak kepada pekebun sawit swadaya.

“Tentu ini menjadi tanggung jawab dari seluruh elemen masyarakat yang ada, seluruh stakholder yang ada, bagaimana penetapan harga sawit ini dilakukan bersama-sama dengan pihak perkebunan pabrik pengolahan kelapa sawit, sehingga masyarakat pekebun swadaya ini dapat menerima harga yang layak,” ujarnya.

Pemerintah daerah mendorong bagaimana masyarakat pekebun sawit swadaya bergabung dalam suatu kelembagaan baik kelompok tani atau koperasi untuk menjalin kemitraan.

Untuk itu, Dinas Pertanian berharap agar bantuan dari seluruh tokoh masyarakat, pemerintah nagari dan kecamatan, supaya kelompok masyarakat tersebut diberikan pemahaman, sehingga berlembaga itu sangat penting dan kekuatan dari kelompok itu akan ada.

Menurut dia, sesuai regulasi, posisi tawar pemerintah daerah untuk menetapkan harga sawit tidak kuat cuma hanya dilibatkan dalam proses penetapan harga.

Pessel Minimal Butuh Tiga Pabrik Pengolahan Sawit

Kepala Dinas Pertanian, Mardianto mengatakan melihat dari luasan perkebunan sawit di Kabupaten Pesisir Selatan, minimal membutuhkan tiga pabrik pengolahan sawit.

Ia menyebutkan saat ini perusahaan atau pabrik pengolahan kelapa sawit terdiri dari lima pabrik yang dimiliki dua grup.

“Sebenarnya dari hitungan potensi, kita masih ideal untuk bisa mendirikan minimal tiga pabrik pengolahan kelapa sawit, sehingga harga yang ada di lapangan itu lebih kompetitif. Hari ini kompetitor hanya dua grup meskipun ada 5 perusahaan,” jelasnya.

Bahkan untuk mewujudkan harapan itu, kata dia, Bupati Pesisir Selatan sudah berkunjung ke bagian investasi pemerintah pusat. Salah satu isu yang dibawa bagaimana investor dapat membangun pabrik kelapa sawit.

Jika ada pabrik baru, maka akan terjadi persaingan harga karena adanya kompetitor baru.

“Dengan ada kompetitor baru, maka harga tentu relatif bersaing,” tutupnya.

Pihak APKASINDO Sumbar juga turut mendukung upaya pembentukan kelembagaan pekebun swadaya. Namun, saran lain yang disampaikan agar Pemkab Pessel dapat mengetahui dan mengawasi setiap perusahaan yang berdiri di Pessel.

Perusahaan yang nakal atau tidak konsisten dengan regulasi yang ditetapkan agar bisa diberi peringatan bahkan dapat diberlakukan sanksi hingga pencabutan izin.

Konklusi RDP Lintas Komisi dan Sektoral

Wakil Ketua DPRD Pesisir Selatan, Aprila Habbas usai mendengar semua pendapat dari berbagai pihak akhirnya mencari kata sepakat demi memperjuangkan pekebun sawit swadaya.

Meski ada yang berbeda pendapat, namun harus memiliki niat yang sama.
Konklusi dari RDP lintas komisi dan sektoral itu menyepakati untuk membentuk kelembagaan bagi pekebun swadaya.

Lalu, DPRD juga bakal membentuk tim internal yang melibatkan para pihak dan penegak hukum dalam bentuk kesepakatan bersama.

“Jika, nanti pekebun swadaya kita sudah berlembaga dan bermitra, soal penetapan harga TBS kelapa sawit itu nantinya bakal disesuaikan dengan standar harga di provinsi,” tuturnya.

(niko/ksr)

BACA DAN IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *