KITASIAR.com – Kunjungan Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Alue Dohong disambut baik oleh Bupati Pesisir Selatan (Pessel) Rusma Yul Anwar pada Selasa (23/8/2022).
Setelah dijamu dan disambut Sekretaris Daerah Mawardi Roska dan perangkat daerah di Pandan View Mandeh, Kecamatan Koto XI Tarusan, Wamen langsung bertemu ramah ke rumah dinas Bupati Rusma Yul Anwar.
Kunjungan Wamen ke Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) dan Jambi 23-26 Agustus 2022 itu dimanfaatkan oleh Rusma untuk menyampaikan segala macam persoalan di daerah.
Rusma pun meminta petunjuk lebih lanjut terkait kawasan hutan serta konflik sosial masyarakat yang memerlukan solusi tepat.
“Untuk itu, pak Wamen kami minta petunjuk agar mempunyai semangat yang kuat ke depannya, bagaimana mensiasati masyarakat kami yang hidup dalam kawasan hutan yang terbatas itu, bagaimana ke depannya tidak ada konflik-konflik sosial terjadi ketika kita harus menyelamatkan hutan dan seluruh ekosistemnya. Tetapi juga bisa memberikan nilai kehidupan bagi masyarakat yang berada di pinggir atau di sekitarnya,” jelas Rusma di depan Wamen LHK Alue Dohong usai makan malam di rumah dinas Bupati Pessel.
Kepada Wamen LHK, Rusma Yul Anwar juga menyampaikan bahwa Kabupaten Pesisir Selatan memiliki luas wilayah yang cukup luas. Sekitar 53 persen luas wilayah itu merupakan kawasan hutan lindung termasuk Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS).
“Luas wilayah kami kurang lebih 604 ribu Km2. Ini persoalannya. Persoalannya adalah 53 persen luas wilayah itu kawasan hutan lindung termasuk TNKS, hanya 47 persen kawasan budidaya. Sementara penduduknya juga cukup besar, mungkin sudah mencapai 534 ribu, nomor dua terbanyak setelah Kota Padang,” katanya.
Lanjut dia, pada sisa kawasan 47 persen itu, masyarakat Pesisir Selatan mencoba menggantungkan harapan untuk mencari nafkah demi bertahan hidup.
Dalam kondisi terbatas itu, Rusma menyampaikan sejumlah harapan dan petunjuk kepada Wamen untuk dapat diberikan solusi agar bisa mengatasi persoalan yang selalu menjadi konflik sosial di tengah masyarakat.
“Tapi, dari 53 persen kawasan tadi, ada beberapa kawasan menurut kami seharusnya sudah harus keluar. Ada dua nagari di kecamatan itu, jika bapak menggeser sedikit saja tapal batas, itu bisa membuat dua nagari tersebut keluar dari status kawasan hutan lindung,” ulasnya.
Kata bupati, sebetulnya ada batas alam yang lebih pas dibandingkan dengan kondisi saat ini. Batasnya bisa dengan aliran sungai bukan batas yang berada di jalan raya nasional. Jarak batas dengan pinggir sungai itu hanya 100-200 meter saja.
Sehingga nantinya, kata bupati ada keleluasaan bagi masyarakat di sekitar untuk bisa beraktivitas lebih jauh tanpa rasa takut dan khawatir.
Saat ini yang menjadi buah pikiran bupati juga terkait konflik sosial masyarakat dalam perebutan lahan. Rusma menyampaikan konflik sosial itu telah merenggut nyawa. Ada warga yang menjadi korban akibat konflik yang terjadi.
“Di daerah ini ada HPK di kawasan transmigrasi, dulu luasnya 17 ribu hektare, tapi kalau saat ini paling banyak hanya tinggal 7 ribu hektare saja pak Wamen. Dan setiap hari mereka melakukan konflik sosial. Bahkan sudah ada masyarakat yang terbunuh untuk memperebutkan lahan itu. Untuk itu, kami minta ketegasan apa yang harus kami lakukan sehubungan dengan HPK tersebut, sudah ada yang mati karena perebutan lahan seperti itu,” terang bupati.
Rusma Yul Anwar pun meminta petunjuk kepada Wamen agar ke depan bisa menegakkan aturan tentang penjagaan kawasan tersebut.
“Kalau menurut bapak statusnya bisa dinaikkan ya naikkan saja. kalau tidak, apa petunjuk yang harus kami lakukan, agar konflik ini tidak terus berlanjut,” ucapnya.
Sementara, Wamen LHK, Alue Dohong merespon tentang apa yang disampaikan Bupati Rusma Yul Anwar.
Wamen mengatakan terkait sejumlah hal yang disampaikan bupati sebetulnya ada beberapa instrumen kebijakan yang dapat dilakukan bupati.
“Tadi pak bupati sampaikan, ada masyarakat yang tinggal di kawasan hutan lindung, tadi juga ada masalah HPK. Nah, ada beberapa instrusmen kebijakan pak bupati, misalnya di kawasan konservasi. Kawasan konservasi itu, kita kan mempunyai sistem zonasi. ada zona inti, zona rimba, zona pemanfaaatn bahkan zona tradisional. Nah ini bisa kita lakukan dengan sistem kemitraan konservasi namanya pak bupati,” kata Wamen.
Alue Dohong bahkan mendorong masyarakat yang ada di sekitar kawasan konservasi itu menjadi sistem pagar sosial. Caranya adalah merekatkan dengan kemitraan konservasi.
“Kasus yang tadi, tadi kalau kawasannya memang sawah lama, dan itu jaraknya 100-200 dari sungai dan tepi jalan raya. Solusinya bisa lewat UU Cipta Kerja, itu ada proses penyelesaian. Kalau memang sudah lama berpuluh tahun disitu, maka kita bisa selesaikan lewat proses TORA (Tanah Objek Reforma Agraria). Pak bupati bisa sebagai pemohon, nanti tim bisa turun, di check, kita bisa geser batas hutannya,” katanya lagi.
Alue menyampaikan kalau batas alaminya sungai, mungkin saja bisa digeser ke sungai. Sehingga itu bisa dilepaskan yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya proses penurunan fungsi. Yaitu dari hutan lindung menjadi fungsi penggunaan area lainnya.
“Itu mungkin bisa dilakukan. Jadi, perlu diidentifikasi subjek dan objeknya. Subjeknya siapa, pemiliknya, luas berapa, jadi nanti kita di Jakarta lah, jadi bapak siapkan dulu. Nanti ajukan permohonannya ke dirjen PKPL, nanti coba kita cek ya. Saya kira itu bisa solusi, termasuk HPK tadi yang tidak produktif di kawasan transmigrasi, itu juga sebetulnya di koridor dengan agraria,” tuturnya. (niko/ksr)