Bolehkah Minum Obat yang Terbuat dari Najis? Ini Penjelasan Fikih Mazhab Syafi’i

Ilustrasi obat. (Dok. Pixabay)

KITASIAR.com – Sakit adalah pengalaman yang hampir pasti dialami setiap manusia. Dalam kondisi tertentu, seseorang bahkan berada pada situasi yang mengharuskannya segera mengonsumsi obat demi mempertahankan kesehatan, bahkan keselamatan jiwa. Namun, bagaimana jika obat yang tersedia justru dibuat dari bahan yang menurut hukum Islam tergolong najis?

Pertanyaan ini kerap muncul di tengah masyarakat Muslim, terutama seiring berkembangnya dunia medis dan farmasi modern. Tidak sedikit obat, baik tradisional maupun medis, yang proses pembuatannya melibatkan unsur najis. Di sinilah muncul kegelisahan: apakah Islam membolehkan minum obat yang bahannya terbuat dari najis?

Isu ini bukan sekadar persoalan hukum halal dan haram, tetapi juga menyangkut kemanusiaan, kesehatan, dan prinsip kemudahan dalam ajaran Islam. Para ulama sejak lama telah membahas persoalan ini secara mendalam, salah satunya Imam An-Nawawi, ulama besar mazhab Syafi’i.

Islam dan Anjuran Berobat

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai kehidupan. Menjaga kesehatan termasuk bagian dari tujuan utama syariat atau maqashid syariah, khususnya dalam aspek menjaga jiwa (hifz an-nafs). Karena itu, Islam tidak melarang umatnya untuk berobat ketika sakit.

Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa setiap penyakit memiliki obat, dan manusia dianjurkan untuk mencarinya. Namun demikian, Islam juga memberikan rambu-rambu agar ikhtiar pengobatan tetap berada dalam koridor yang dibenarkan syariat.

Salah satu rambu tersebut adalah larangan mengonsumsi benda haram dan najis. Akan tetapi, larangan ini tidak bersifat kaku dan absolut, karena Islam juga mengenal konsep darurat dan kemaslahatan.

Hukum Minum Obat Berbahan Najis Menurut Mazhab Syafi’i

Dalam kitab Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Imam An-Nawawi menjelaskan secara tegas pandangan ulama mazhab Syafi’i terkait penggunaan obat yang berbahan najis.

Ia menyebutkan bahwa berobat dengan benda najis selain khamar hukumnya boleh. Kebolehan ini mencakup seluruh jenis najis yang tidak bersifat memabukkan.

Imam An-Nawawi menuliskan:

وَأَمَّا التَّدَاوِي بِالنَّجَاسَاتِ غَيْرِ الْخَمْرِ فَهُوَ جَائِزٌ سَوَاءٌ فِيهِ جَمِيعُ النَّجَاسَاتِ غَيْرُ الْمُسْكِرِ هَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَالْمَنْصُوصُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ

Artinya:
“Adapun berobat dengan benda-benda najis selain khamar, hukumnya adalah boleh. Ketentuan ini berlaku untuk semua jenis najis yang tidak memabukkan. Inilah mazhab (Syafi’i) yang ditegaskan dalam nash, dan pendapat inilah yang diputuskan oleh mayoritas ulama.”
(Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, tanpa tahun, juz IX, halaman 54).

Pendapat ini menunjukkan bahwa Islam tidak mempersulit umatnya ketika berada dalam kondisi sakit yang membutuhkan pengobatan serius.

Tidak Mutlak: Ini Syarat Kebolehannya

Meski dibolehkan, Imam An-Nawawi menegaskan bahwa penggunaan obat berbahan najis tidak bersifat mutlak. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kebolehan tersebut sah secara syariat.

Pertama, tidak ditemukan obat lain yang suci dan memiliki fungsi yang sama. Jika masih tersedia obat halal dan suci, maka obat berbahan najis tidak boleh digunakan.

Kedua, adanya rekomendasi atau keterangan medis dari dokter Muslim yang adil dan terpercaya. Hal ini penting agar penggunaan obat tidak didasarkan pada dugaan, melainkan pada pertimbangan ilmiah dan profesional.

Ketiga, bahan najis tersebut bukan berasal dari khamar atau zat yang memabukkan. Dalam Islam, khamar tetap haram digunakan, baik sebagai minuman maupun sebagai bahan pengobatan.

Ketentuan ini menunjukkan bahwa kebolehan dalam Islam selalu disertai dengan tanggung jawab dan kehati-hatian.

Perbedaan Pendapat Ulama

Imam An-Nawawi juga memaparkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait persoalan ini.

Pendapat pertama membolehkan penggunaan obat berbahan najis selain khamar dalam kondisi darurat. Inilah pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i dan dinilai sebagai pendapat yang paling kuat.

Pendapat kedua menyatakan bahwa minum obat berbahan najis tetap haram secara mutlak, tanpa pengecualian.

Sementara pendapat ketiga membatasi kebolehan tersebut hanya pada air kencing unta, merujuk pada hadis Nabi SAW tentang pengobatan menggunakan air kencing unta pada masa tertentu.

Setelah mengulas seluruh pendapat tersebut, Imam An-Nawawi menegaskan bahwa pendapat pertama adalah yang paling sahih dan layak diamalkan.

Prinsip Darurat dalam Syariat Islam

Kebolehan minum obat berbahan najis tidak lepas dari kaidah fikih yang menyatakan bahwa keadaan darurat dapat membolehkan sesuatu yang pada asalnya terlarang. Namun, darurat tidak boleh dimaknai secara sembarangan.

Darurat berarti kondisi yang jika tidak ditangani dapat menimbulkan bahaya serius bagi jiwa atau kesehatan. Oleh karena itu, kebolehan ini hanya berlaku sesuai kebutuhan dan tidak boleh berlebihan.

Relevansi di Era Medis Modern

Di era modern, penjelasan Imam An-Nawawi ini menjadi sangat relevan. Banyak obat-obatan yang sulit dihindari dari unsur najis, baik dari bahan aktif maupun proses produksinya.

Dengan adanya panduan fikih yang jelas, umat Islam dapat menjalani pengobatan dengan tenang tanpa rasa bersalah, selama tetap berpegang pada prinsip darurat dan rekomendasi medis.

Kesimpulan

Berdasarkan pandangan ulama mazhab Syafi’i sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi, minum obat yang terbuat dari bahan najis pada dasarnya dibolehkan, selama tidak berasal dari khamar atau zat memabukkan, serta digunakan dalam kondisi darurat ketika tidak ditemukan obat lain yang suci atau berdasarkan rekomendasi dokter Muslim yang adil.

Pemahaman ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang memberikan kemudahan, solusi, dan perlindungan bagi umatnya, tanpa mengabaikan nilai-nilai kesucian dan etika syariat.

Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *