KITASIAR.com – Statistisi senior sekaligus mantan Deputi Badan Pusat Statistik (BPS), Mirjou Sairi Hasbullah mengingatkan agar masyarakat dan pemerintah tidak terburu-buru berbangga dengan angka pengangguran yang tercatat rendah.
Menurutnya, capaian tingkat pengangguran terbuka nasional sebesar 4,76 persen pada Februari 2025, yang disebut sebagai terendah sejak reformasi 1998 perlu dilihat lebih hati-hati. Angka di Provinsi Riau bahkan lebih rendah lagi, yakni 4,12 persen.
“Kalau kita cermati, di tengah banyaknya gelombang PHK, angka pengangguran di Indonesia 4,76 persen ini justru perlu dikaji lebih hati-hati,” ujar Sairi dalam Webinar Literasi Statistik 2025 bertajuk Statistik untuk Negeri: Menerjemahkan Data Menjadi Kebijakan Nyata yang digelar BPS Riau, Kamis (18/9/2025).
Sairi menilai angka yang rendah belum tentu menjadi pertanda kondisi lapangan kerja membaik. Sebaliknya, ada kemungkinan banyak pekerja yang terdampak PHK akhirnya memilih pekerjaan serabutan demi bertahan hidup.
“Jangan-jangan orang yang kena PHK itu tidak sanggup menjadi penganggur. Mereka mau kerja apa saja asal bisa makan. Data pekerja informal justru meningkat pada periode yang sama. Ini artinya ada indikasi pergeseran, dari pengangguran menjadi pekerjaan serabutan,” jelasnya.
Ia menambahkan, definisi resmi pengangguran menurut standar ILO (International Labour Organization) juga perlu diperhatikan.
“Dalam manual ILO, mereka yang bekerja minimal satu jam seminggu berturut-turut sudah termasuk bekerja. Padahal, banyak di antaranya yang hanya bekerja 2-3 jam, hasilnya hanya cukup untuk bertahan hidup. Secara statistik mereka tidak lagi disebut penganggur, tapi realitanya mereka setengah menganggur,” tegas Sairi.
Lebih jauh, ia mengingatkan agar para kepala daerah tidak serta-merta merasa berhasil ketika angka pengangguran terlihat rendah.
“Pengalaman saya dulu di Jawa Timur, banyak bupati dan wali kota yang gembira melihat angka pengangguran rendah. Padahal itu bukan tanda keberhasilan, justru harus kita pertanyakan. Apakah masyarakatnya betul-betul sejahtera atau sekadar bekerja serabutan?” ungkapnya.
Sairi juga menyoroti ketimpangan antarwilayah. Beberapa daerah dengan pengangguran tinggi, seperti Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Manado, justru berbanding terbalik dengan Papua Pegunungan yang mencatat angka rendah.
Karena itu, ia menegaskan pentingnya membaca data secara lebih menyeluruh.
“Angka statistik tidak boleh hanya dibaca permukaannya saja, tapi harus diteliti lebih dalam konteks sosial dan ekonomi yang melingkupinya,” pungkasnya. (MC Riau)







